Apakah Bali benar-benar milik warga Bali, ataukah semakin banyak yang merasa pulau ini dimiliki oleh pihak asing?
Diambil alihnya beberapa sektor ekonomi (kolonisasi ekonomi) oleh warga negara asing (WNA) menyebabkan berkurangnya manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat lokal.
Belakangan ini, di Bali banyak fenomena kolonisasi ekonomi khususnya yang dilakukan oleh WNA dari Rusia.
Mereka memiliki properti dan usaha, menciptakan zona ekonomi eksklusif untuk sesama mereka, menyalahgunakan visa, serta melakukan eksploitasi sumber daya dan budaya Bali.
Fenomena ini sebenarnya bukanlah fenomena baru, negara seperti Thailand, Kanada, Jepang, Selandia Baru dan lainnya juga pernah mengalami hal serupa. Lalu, apa yang dilakukan negara-negara tersebut untuk mengurangi atau menghilangkan kolonisasi ekonomi oleh WNA?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lihat sebentar peraturan di Indonesia terkait kepemilikan properti oleh WNA.
Misalnya, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang mengatur bahwa hanya WNI yang bisa memiliki tanah dengan status Hak Milik (HM).
Lalu berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2015, WNA hanya bisa memiliki properti dengan status Hak Pakai atas tanah dengan syarat tertentu. Properti yang dibeli harus berupa hunian (apartemen, rumah tapak dalam kawasan tertentu, atau villa tertentu) dan tidak boleh berada di tanah dengan status Hak Milik.
Beberapa syarat kepemilikan properti oleh orang asing:
- Harus memiliki izin tinggal sah di Indonesia, seperti KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas) atau KITAP (Kartu Izin Tinggal Tetap).
- Properti yang dibeli harus di atas harga minimum yang ditentukan oleh pemerintah untuk mencegah spekulasi oleh investor asing.
- Properti tidak boleh dijadikan tempat usaha atau disewakan tanpa izin yang sah.
Dari peraturan dan syarat tersebut, ternyata masih ada beberapa celah yang sering dimanfaatkan oleh warga negara asing, misalnya:
- Menggunakan Skema Nominee: WNA memakai nama WNI sebagai pemilik resmi properti, tetapi ada perjanjian di belakang layar yang memberikan kendali penuh kepada WNA.
- Mendirikan PT PMA (Penanaman Modal Asing): WNA membuat perusahaan asing dan membeli properti dengan nama perusahaan.
- Perjanjian Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai yang Diperpanjang Secara Berkelanjutan.
Menjawab pertanyaan sebelumnya, apa yang dilakukan Thailand, Kanada, Jepang, Selandia Baru atau negara lainnya untuk mengatasi masalah kolonisasi ekonomi dan celah peraturan?
Berikut ini cara-cara yang dilakukan yang khususnya belum dilakukan oleh Indonesia (dan Bali).
Selandia Baru
Pada 2018 Selandia Baru memperkenalkan kebijakan Foreign Buyer Ban, kebijakan ini dengan tegas dan eksplisit melarang pembelian rumah oleh WNA.
Kanada
Di beberapa provinsi seperti British Columbia, Kanada menerapkan Speculation and Vacancy Tax, yaitu pajak pembelian properti tambahan untuk warga negara asing.
Vietnam
Vietnam menetapkan batasan persentase kepemilikan asing dengan sangat ketat khususnya di sektor-sektor strategis dan industri penting.
Thailand
Di Thailand terdapat program visa kerja khusus bagi WNA sehingga pemerintah Thailand dapat mengontrol dan mengawasi penyalahgunaan visa dengan lebih baik.
Filipina
Terdapat kebijakan khusus yang mengharuskan perusahaan asing atau WNA untuk bermitra dengan pengusaha lokal dalam beberapa sektor usaha.
Jepang
Jepang menerapkan pemeriksaan ketat bagi pembeli asing sebelum mereka bisa membeli tanah, terutama di daerah strategis. Serta ada regulasi ketat yang membatasi kepemilikan bisnis oleh orang asing, terutama di sektor penting.
Dengan kebijakan dan program-program tersebut, negara setempat berhasil mengurangi atau menghilangkan dominasi dan kolonisasi ekonomi oleh WNA.
Jika Bali ingin menjaga kesejahteraan warganya, sudah saatnya kebijakan yang lebih ketat diterapkan untuk memastikan bahwa tanah dan usaha di Bali benar-benar untuk masyarakat Bali.
Oleh sebab itu, Bali dapat mengadopsi beberapa cara seperti pengetatan syarat, mempertegas kebijakan hukum atau melakukan kontrol dan pengawasan secara berkala seperti yang telah dilakukan oleh negara Thailand, Kanada, Jepang, Selandia Baru atau negara lainnya untuk mengatasi kolonisasi ekonomi oleh WNA.