Sebelumnya saya ingin menyampaikan bahwa jika kasus Pak Tom Lembong tidak kita awasi, maka saya, kamu, dan kita semua berpeluang diperlakukan dengan cara yang sama. Oleh karenanya, mengawasi kasus Pak Tom tidak ada hubunganya dengan siapa yang didukung oleh Pak Tom saat pemilu sebelumnya.
Kasus Pak Tom adalah masalah kita semua karena ada keadilan yang sedang dipermainkan, jika sekelas mantan menteri saja bisa dipidana dengan dakwaan yang tidak masuk akal, apalagi kita masyarakat sipil?
Banyak dari dakwaan dan putusan yang dibacakan saat persidangan yang jika kita telusuri lebih jauh lagi ternyata bertentangan dengan peraturan yang ada, bertentangan dengan fakta yang terjadi, bahkan ada yang sebenarnya tidak nyambung.
Misalnya disebutkan kalau saat itu tidak perlu impor gula karena stok masih ada, stok memang masih ada tapi hanya untuk 1-2 bulan kedepan, terlebih saat itu akan ada lebaran, kebutuhan naik, harga gula tinggi, dan harga tidak merata. Produksi gula secara tahunan saat itu adalah 2 juta ton, sedangkan kebutuhan nasional hampir 6 juta ton.
Keputusan untuk impor gula adalah keputusan yang sangat masuk akal, jika tidak segera dilakukan, maka dapat dipastikan harga melambung tak terkendali, stok gula akan segera habis, dan industri yang memerlukan gula sebagai bahan pokok mereka, otomatis akan berhenti produksi.
Lalu selanjutnya ada dakwaan yang menyebutkan pembelian diatas HPP adalah ilegal. Coba kita pikirkan ini logikanya seperti apa, HPP itu harga minimum, fungsinya untuk melindungi harga di sisi petani. HPP bukan harga maksimum, artinya membeli di atas HPP sah dan boleh saja.
Kalau logika dakwaan ini dipakai, maka perusahaan yang menggaji karyawan diatas upah minimum, direkturnya bisa ditangkap karena dianggap ilegal, lucu sekali bukan? Dan inilah analogi apa yang terjadi di kasusnya Pak Tom Lembong.
Dakwaan ajaib selanjutnya adalah Pak Tom disebut merugikan negara karena impor GKM (Gula Kristal Mentah) memakai harga GKM, ya kamu tidak salah dengar, seseorang dianggap merugikan karena membeli sepeda dengan harga sepeda.
Kerugian yang dihitung dalam konteks ini adalah selisih harga GKM dengan harga GKP (Gula Kristal Putih) dimana GKP harganya memang lebih tinggi. Kita ingat kembali, yang diimpor memang adalah GKM, kenapa harus pakai harga GKP? Ini ibarat membeli sepeda kayuh namun diminta membeli dengan harga sepeda motor.
Berikutnya, disampaikan bahwa distribusi GKM harusnya memakai BUMN, sedangkan Pak Tom melibatkan koperasi yang non BUMN, menyebabkan Pak Tom Lembong dikatakan melanggar peraturan.
Namun setelah ditelusuri, tidak ada peraturan yang menyebutkan bahwa distribusi GKM harus dilakukan oleh BUMN, banyak pakar hukum yang telah mengkonfirmasi hal ini. Bahkan, walaupun misal ada aturannya, dan Pak Tom melanggar, harusnya tindakan tersebut bukan masuk ke dalam kategori tindakan korupsi, hal tersebut hanya akan masuk ke dalam pelanggaran yang sifatnya administratif.
Lalu terkait putusan hakim, misalnya yang mengatakan bahwa kebijakan Pak Tom sifatnya Kapitalis dan bukan Pancasilais. Ini apalagi? Kebijakan Kapitalis? Kebijakan Pancasilais? Sepertinya tidak perlu saya lanjutkan penjelasan mengenai putusan absurd yang satu ini.
Selanjutnya, pengadilan (ya pihak pengadilan sendiri) telah menyimpulkan bahwa tidak ada mens rea (niat jahat) yang dilakukan oleh Pak Tom Lembong. Seperti yang kita tahu, dalam prinsip dasar hukum pidana, seseorang tidak bisa dipidana begitu saja jika tidak terbukti memiliki niat atau kesengajaan (mens rea) untuk melakukan kejahatan.
Pak Tom Lembong terbukti tidak ada niat atau kesengajaan untuk merugikan negara (yang dimana kerugian ini sendiri masih absurd dan tidak jelas). Dalam konteks korupsi, Pak Tom Lembong juga terbukti tidak ada menikmati keuntungan pribadi dan tidak ada aliran dana mencurigakan, terlebih lagi, tidak ada instrumen tindak pidana korupsi lainnya yang ditemukan.
Jadi, bagaimana bisa seseorang yang tidak terbukti korupsi, dipidana karena melakukan tindak korupsi?
Nah, berikutnya, Pak Tom dikatakan tetap dipidana karena alasan lalai (lalai sendiri harusnya masuk dalam konteks mens rea, jadi sebenarnya unsur mens rea ini terpenuhi atau tidak? Sebab pengadilan sendiri sebelumnya menyimpulkan bahwa tidak ada mens rea) dan juga dengan alasan telah merugikan negara.
Kerugian tersebut dihitung dari mana? Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, Pak Tom Lembong melibatkan koperasi dalam distribusi GKM dan bukan BUMN, jadi keuntungan distribusi tersebut dinikmati koperasi.
Peluang keuntungan yang harusnya bisa masuk ke BUMN tersebutlah yang dihitung sebagai kerugian negara. Ini agak lucu, sebab potensi profit dianggap kerugian, padahal keduanya secara formil adalah dua hal yang berbeda. Negara tidak rugi sama sekali, negara hanya tidak mendapat keuntungan secara langsung.
Terlebih lagi, jika logika tersebut dipakai, maka semua pejabat yang memakai rekanan non BUMN dalam proyeknya, bisa dipidana karena dianggap merugikan negara.
Pernyataan lainya dari hakim menyebutkan bahwa Pak Tom meskipun tidak memperkaya diri sendiri, tetapi memperkaya orang lain. Orang lain yang mana? Yang dimaksud adalah rekanan atau perusahaan swasta yang menyediakan jasa dalam kegiatan impor GKM ini.
Karena menyediakan jasa dan menjadi rekanan pemerintah dalam proses impor GKM, tentunya pihak swasta penyedia jasa harus dibayar jasanya, karena ini bukan kerja sosial, di pihak swasta pun pasti keluar uang untuk membayar staff dan lain-lainnya. Nah, pembayaran jasa inilah yang disebut sebagai memperkaya orang lain, dan digolongkan sebagai tindak korupsi.
Inikan logika yang wow sekali ya, membayar jasa atau membayarkan hak penyedia jasa bisa digolongkan sebagai tindak korupsi (memperkaya orang lain).
Oleh karena itu, dari dakwaan dan putusan yang telah kita bedah satu-satu yang ternyata tidak sesuai dengan fakta dilapangan, tidak sesuai dengan peraturan, dan sangat aneh, bisa kita sebut bahwa dakwaan dan putusan pengadilan dalam kasus pak Tom Lembong sangat tidak masuk akal dan terkesan dipaksa-paksakan.
Jika dibiarkan, efek dari putusan hukum ini akan mempengaruhi kebijakan publik, ekonomi, dan kebijakan perdagangan. Banyak pejabat yang akan ragu-ragu mengambil kebijakan perdagangan khususnya impor, dan banyak pihak swasta yang enggan berkolaborasi dengan pemerintah karena bisa ikut terseret kasus korupsi. Pada akhirnya, kita masyarakat sipil yang akan paling banyak dirugikan.