Skip to content

Domba Gemuk dan Serigala Lapar – Tentang Kita Manusia Modern

Iseng membuka blog pribadi tahun 2019, saya tertarik dengan apa yang saya tulis di tahun tersebut. Link dan tulisan aslinya ada di sini. Saya tulis kembali di website ini dengan beberapa perbaikan kata dan ejaan tanpa mengubah makna aslinya.

Berikut ini adalah cerita dengan tema yang cukup berat, namun entah bagaimana waktu itu saya kemas dengan alur cerita klasik yang ringan. Semoga dapat menginspirasi.

Disclaimer: Semua tulisan di bawah ini adalah tulisan saya tahun 2019 yang bisa saja mengandung pendapat “abg labil” karena saat itu saya masih dalam masa pembebasan pikiran dari doktrin-doktrin sosial. Serta  penggunaan kata “gemuk” dan “kurus” dalam cerita ini tidak bermaksud pada body shaming dan hanya bermaksud untuk mempertegas kontrasitas dalam cerita.

***

— ” Halo, cerita di bawah ini akan sangat pas untuk menggambarkan betapa rakusnya kita sebagai manusia. Tidak hanya rakus pada lingkungan tetapi juga rakus pada sesama. Silahkan di baca cerita yang berjudul Domba Gemuk dan Serigala Lapar ini.

herd of lambs

Disebuah padang rumput nan subur, hiduplah segerombolan domba yang tak pernah kekurangan makanan dan minuman. Mereka hidup dengan sangat sejahtera, bahkan ketika musim kawin tiba, tak satu pun domba betina yang kekurangan nutrisi untuk calon anak-anaknya.

Suatu ketika, beberapa minggu setelah musim melahirkan berlalu, seekor anak domba yang menuju remaja menumbuhkan kepercayaan bahwa apapun yang berlebihan pasti tidak baik. Anak domba ini telah belajar berpikir kritis. Ia pun mencoba memberikan saran kepada ketua gerombolan.

Anak domba ini berkata bahwa bagaimana kalau mereka menerapkan aturan pembatasan makan, melihat dari domba-domba yang mulai kegemukan. Ketua dan rekan-rekannya saling tatap untuk beberapa saat, kemudian mereka tertawa terbahak-bahak.

Setelah tawa menjengkelkan itu berakhir, si anak domba dinasehati agar hidup realistis dan mengikuti cara hidup domba-domba yang lainnya. Namun keteguhan hatinya tak tergoyahkan, ia pun menerapkan aturan pembatasan tersebut pada dirinya sendiri.

Setelah beberapa bulan berlalu, teman-teman anak domba ini menjadi sangat gemuk, bagi kawanan domba, menjadi gemuk berarti terhormat dan disegani. Namun berbeda dengan si anak domba yang biasa saja, bahkan cenderung kurus namun masih dalam kategori sehat. Domba-domba yang lain mengira ia sudah gila, ledekan dan hinaan setiap hari terlontar dari para domba gemuk.

Sampai tibalah pada suatu malam purnama, dari kejauhan terselip mata-mata bercahaya bersembunyi di antara bayangan. Itu adalah gerombolan serigala yang lapar! Air liur serigala ini sudah tak henti menetes melihat domba yang gemuk penuh dengan daging. Lalu pemimpin gerombolan itu memberi aba-aba untuk menyerang dan memangsa semua domba.

Ketika domba-domba ini masih nyenyak tertidur, mereka tak sadar satu demi satu dari kawanan mereka mulai kehilangan nyawanya. Beberapa saat kemudian kepaniakan pun terjadi, domba-domba yang gemuk sangat sulit untuk berlari. Hanya si domba yang kurus ini bisa berlari layaknya hewan berkaki empat.

Meskipun serigala melihat si domba kurus ini berlari dan mencoba kabur. Kawanan serigala merasa enggan memakan domba yang kurus itu. Dimata mereka hanya tulang yang ada pada tubuhnya jika dibandingkan dengan domba gemuk lainnya, jadi mereka mengabaikanya begitu saja. Bahkan si domba kurus ini bisa melarikan diri tanpa benar-benar berlari.

Ketika mentari sudah terbit, si domba kurus ini keluar dari persembunyianya untuk melihat apa yang terjadi pada kaumnya, terutama ayah, ibu dan saudaranya. Ternyata setelah di lihat, mereka semua sudah tak berbentuk lagi, terkoyak, berlumuran darah, bahkan ada yang hanya rangka saja.

Cerita diatas menggambarkan kondisi masyarakat modern saat ini. Kebanyakan orang hanya fokus berlomba untuk menjadi ‘domba gemuk’ agar disegani dan dihormati. Namun mereka tak sadar ada ‘serigala lapar’ yang mengintai dan akan memangsa mereka.

Domba gemuk sebagai ilustrasi dari manusia yang tenggelam dan terlena pada sistem kehidupan yang dijalankan oleh kebanyakan orang. Yaitu hidup untuk mendapat posisi tinggi, uang banyak, terhormat dan disegani.

Sedangkan seriga lapar mengilustrasikan peradaban, alam dan waktu yang terus mengintai dan siap melahap suatu ketika. Jika manusia tidak memahami tujuan peradaban, maka mereka akan menjadi mangsa tanpa bisa berbuat apa-apa.

Dan si domba kurus adalah ia yang berani mendobrak apa yang diyakini kebanyakan kaumnya. Jika dibawa pada peradaban manusia, maka si domba kurus adalah mereka yang namanya masih kita sebut-sebut sampai sekarang (seperti para filsuf). Domba kurus adalah mereka yang mampu mengenalkan dirinya pada peradaban jauh setelahnya dari kontribusi mereka pada peradaban itu sendiri.

Mereka yang sukses berlebihan dalam karir, memiliki sangat banyak uang atau dalam kekuasaan belum tentu sukses dalam hidupnya. Karena sukses karir dengan sukses hidup itu hal yang amat berbeda. Kita harus benar-benar memahami dahulu konsep kehidupan dan konsep realitas, agar peradaban kita bisa tetap survive.

Ketika kita berbicara tentang peradaban, kita sedang membicarakan waktu 100 atau 1000+ tahun kedepan. Contoh sederhana dari domba gemuk adalah manusia yang terlalu mengeksploitasi alam untuk meraup keuntungan dan uang. Manusia tidak bisa berharap semua akan baik-baik saja ketika tingkah lakunya seperti itu.

Manusia modern yang semakin tergantung dengan teknologi, dan apa yang terjadi jika bencana menghancurkan semua teknologi manusia? Jangankan teknologi, banyak dari kita sekarang bisa galau setengah mati ketika internet mati, padahal itu baru internet saja.

Kedepan, jika tanaman pokok seperti padi ditumbuhkan dengan taknologi, maka ketika bencana terjadi semua alat tersebut akan rusak, dan nampaknya sedikit yang akan bisa survive karena tidak ada yang tau cara bercocok tanam.

Bencana yang saya maksud bukan sekedar bencana alam biasa, bisa saja badai matahari, badai gelombang aktif planet, atau anomali ruang dan waktu. Hal ini mungkin terjadi karena manusia sangat rakus, seperti domba yang gemuk tersebut, akibatnya alam tidak seimbang dan kita telah menarik perhatian dari mangsa alami, atau kita telah mamaksa alam mengaktifkan sistem imunitasnya.

Realitas ruang dan waktu dimensi tempat kita sangat berbeda dari apa yang kebanyakan orang pahami, ketika kita menyebut realitas, kita tidak membicarakan apa yang pikiran dan indera manusia rasakan. Realitas bukan juga sistem yang diciptakan oleh manusia, atau konsep-konsep yang dibuat oleh individu.

Realitas ini seperti memiliki ‘kesadaran’-nya sendiri. Sehingga, ketika kita bilang hidup realistis, maka kita mengatakan hidup sesuai ketentuan pada ruang dan waktu dimensi tempat kita berada, bukan apa-apa yang diciptakan dan ditentukan oleh manusia. Atau kata lainnya kita harus mengikuti aturan dari semesta, karea ialah tuan rumahnya.

Pertama-tama marilah kita menjaga lingkungan dengan baik, alam adalah entitas yang hidup, maka mari perlakukan alam layaknya mahluk hidup. Jika alam mengaktifkan sistem imunnya maka manusia hanyalah tinggal fosil.

Semoga cerita diawal paragraf tadi bisa memyadarkan kita sebagai kaum manudia agar berhenti rakus dan mengkondisikan diri.

Terimakasih, salam. ” —