Jika ada kebakaran di sebuah gedung, kang Dedi kemungkinan besar akan langsung mengambil air dan menyiram api di depannya tanpa mencoba mencari dan memadamkan penyebab utama kebakaran.
Karena seperti itulah pemimpin populis, yang penting “terlihat kerja” dan mendapat simpati. Yang penting “api” di depannya padam, ia tidak peduli dengan sumber utama penyebab kebakaran.
Meskipun gaya ini efektif untuk mendapatkan simpati dari masyarakat, banyak literatur akademis dan penelitian yang menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan populis ini berbahaya dalam jangka panjang serta dapat meruntuhkan ekonomi – kesejahteraan masyarakat.
Sebelum melanjutkan saya ingin mengajak anda untuk melihat bagaimana sebenarnya ciri-ciri utama dari pemimpin yang populis. Ciri- ciri tersebut saya rangkum dari berbagai literatur akademis.
Ciri pertama pemimpin populis adalah mengutamakan popularitas yang akan mendatangkan banyak suara, seperti apa yang disebutkan dalam Populist Leaders and the Economy oleh Funke, Schularick, & Trebesch (2022).
Kang Dedi, yang sangat rajin upload konten di sosial media serta sengaja membentuk tim digital & sosmed khusus yang sudah standby dari subuh, bisa kita lihat dengan jelas bahwa beliau memanfaatkan sosial media untuk menaikkan nama atau popularitasnya.
Karena hal tersebut, retorika atau kata-kata yang dipakai akan cenderung kata-kata yang menyentuh perasaan dan emosi masyarakat, meskipun bisa jadi kata-kata yang keluar sebenarnya hanya janji manis atau sebenarnya bisa jadi bertentangan dengan logika.
Lalu ciri kedua adalah bahwa pemimpin populis suka membuat keputusan atau kebijakan yang cepat atau buru-buru (Binswanger (2016), Populism and Institutional Capture).
Hal ini juga sangat sesuai dengan kang Dedi, ada laporan anak nakal, ia langsung merespon dengan kebijakan mengirim anak nakal ke barak militer. Ini sebenarnya kebijakan yang sangat klasik (beginilah orang zaman dulu “mendidik anak nakal”) dan tentunya tidak menyelesaikan masalah kenakalan remaja.
Banyak penelitian yang sudah dilakukan dan menyebutkan penyebab utama kenakalan remaja terkait dengan pola asuh, lingkungan keluarga dan lingkungan sosialnya, tidak ada hubunganya dengan pendidikan militerisme sama sekali.
Selanjutnya ada dari Akkerman, Mudde, & Zaslove (2021), Populist Voters Like Dark Politicians, yang menyampaikan salah satu ciri pemimpin populis adalah kecenderungan mengabaikan data, fakta dan kajian ilmiah dalam membuat kebijakan atau keputusan.
Ini juga cocok dengan kang Dedi, kebijakan yang ia keluarkan sifatnya sangat cepat atau buru-buru, kebijakan yang dibuat terlalu cepat atau buru-buru tidak akan sempat memakai data atau kajian yang cukup.
Contohnya kebijakan jam sekolah pedesaan yang dimajukkan dan puasa wajib (Peraturan Bupati Nomor 69 Tahun 2015), saat ia masih menjadi Bupati Purwakarta pada 2008-2018 (dibuat tanpa kajian sehingga Indeks Pembangunan Manusia Purwakarta selama ia menjabat, malah stagnan tidak ada peningkatan).
Serta kebijakan yang sudah sempat saya sebut, dimana ada kenakalan remaja yang disambut dengan kebijakan mengirim mereka ke barak (yang tidak sesuai dengan hasil penelitian terkait penyebab utama kenakalan remaja).
Paling baru, awal Mei lalu saat berpidato dalam Musyawarah Nasional Asosiasi DPRD Seluruh Indonesia, kang Dedi menyebut akan membagikan secara langsung APBD untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain hal tersebut akan melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, pajak yang ada pada APBD seharusnya kembali ke masyarakat dalam bentuk layanan-layanan dasar, jaminan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.
Semua contoh kebijakan tersebut diatas telah membuktikan bahwa sebenarnya kebijakan yang dibuat kang Dedi adalah tanpa data dan kajian ilmiah yang cukup, sehingga sering kali bertabrakan dengan aturan, prosedur atau SOP yang ada. Akar masalahnya pun tidak terselesaikan dan manfaat jangka panjangnya tidak terlihat.
Jadi, bisa kita lihat bahwa kang Dedi Mulyadi memiliki gaya kebijakan & kepemimpinan populis yang di permukaan terlihat bekerja serta menyelesaikan masalah, namun sebenarnya tidak menyentuh dan menyelesaikan akar masalah yang ada. Ibarat langsung menutup luka dengan plester agar terlihat tidak terluka tanpa mengobati luka yang sebenarnya.