Skip to content

Kenaikan Tarif PPN Dari 11% Menjadi 12% Harus Ditolak

Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang atau jasa. PPN bersifat negative list yang berarti pada dasarnya semua barang dan jasa dikenakkan PPN kecuali sengaja dikecualikan karena pertimbangan tertentu (misalnya produk kategori kebutuhan pokok).

Sebelum melanjutkan mengenai alasan kenapa kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% harus kita tolak, mari kita samakan beberapa pemahan terlebih dahulu.

Perlu diketahui bahwa kenaikan tarif pajak dengan kenaikan nilai pajak (atau umumnya disebut “pajak” saja) adalah dua hal yang berbeda.

 

Perbedaan Tarif Pajak Dengan Nilai Pajak

Tarif Pajak: Tarif pajak adalah persentase atau jumlah tetap yang digunakan untuk menghitung seberapa besar pajak yang harus dibayar berdasarkan nilai objek pajak (seperti penghasilan, penjualan barang/jasa, atau kekayaan).

Nilai Pajak: Nilai pajak adalah jumlah uang yang harus dibayar sebagai pajak berdasarkan tarif pajak yang diterapkan pada objek pajak.

Contoh perhitungan PPN:

PPN (Pajak Pertambahan Nilai):

  • Tarif PPN: 10%
  • Harga Barang: Rp. 200.000
  • Nilai Pajak: 10% × Rp200.000 = Rp. 20.000

Dari contoh tersebut terlihat bahwa tarif PPN adalah 10% dan nilai pajaknya adalah Rp. 20.000.

 

Sebagai masyarakat umum dan konsumen, yang harus kita perhatikan adalah kenaikan nilai pajaknya, bukan kenaikan tarif pajaknya. Misalnya seperti PPN yang dimana pajak akan dibayar oleh konsumen akhir, karena pengusaha akan memiliki hak klaim kredit pajak.

Tarif pajak mempengaruhi pendapatan negara, sedangkan nilai pajak akan mempengaruhi pengeluaran konsumen. Oleh sebab itulah pemerintah pasti lebih fokus pada tarif pajak sedangkan masyarakat (harus nya) lebih fokus terkait nilai pajak.

Tarif PPN naik dari 11% menjadi 12%, atau hanya 1%, terlihat kecil ya? Tapi bagaimana efeknya pada kenaikan nilai pajaknya? (selanjutnya akan kita sebut “pajak” saja). Tarif PPN memang naik hanya 1%, namun ternyata pajaknya bisa naik sampai 9%.

Begini hitungannya:

  1. Hitung Nilai Pajak Sebelum dan Sesudah Kenaikan:

– Tarif PPN 11%:

PPN = 200.000 x 11% = 200.000 x 0,11 = 22.000

– Tarif PPN 12%:

PPN = 200.000 x 12% = 200.000 x 0,12 = 24.000

 

  1. Selisih Nilai Pajak:

Selisih Pajak = PPN (12%) – PPN (11%)

Selisih Pajak = 24.000 – 22.000 = 2.000

 

  1. Persentase Kenaikan Nilai Pajak:

Persentase Kenaikan = (Selisih Pajak / Nilai Pajak Awal) x 100%

Persentase Kenaikan = (2.000 / 22.000) x 100% = 9,09%

 

Perlu diingat itu adalah kenaikan dari 1 barang atau jasa, dikali jumlah dan dikali frekuensi pembeliannya, kenaikan pajak 9% bisa sangat memperbesar lubang pengeluaran khususnya untuk konsumen akhir.

 

Setelah memiliki pengetahuan dasar yang sesuai terkait PPN, kita bisa lihat bahwa sebenarnya menaikkan tarif PPN dari sudut pandang pemerintah adalah hal yang bagus karena bisa menambah anggaran untuk membangun berbagai fasilitas dan program. Namun hal tersebut baru memberi efek positif saat kondisi ekonomi stabil dan daya beli masyarakat cukup tinggi.

Masalahnya adalah kondisi ekonomi saat ini sedang tidak bagus karena masih proses pemulihan efek pandemi serta dya beli msyarakat yang menurun. Jika tarif PPN naik, maka pengeluaran otomatis akan naik, sedangkan pendapatan cenderung tetap sama, sehingga timbul ketidak seimbangan.

 

Waktu Yang Keliru Menaikkan PPN

Berdasarkan data dari berbagai sumber kita tahu bahwa saat ini nilai tukar rupiah sedang melemah, bahkan sempat menyentuh Rp. 16.300 untuk 1 USD. Selain itu menurut data BPS, kita sempat mengalami deflasi lebih dari 5 bulan berturut-turut, daya beli masyarakat jatuh. Tidak sampai di sana, kita tahu produk dalam negeri sedang kalah saing dengan produk impor sampai-sampai produsen Sritex dinyatakan pailit di pengadilan.

Menaikkan tarif PPN saat daya beli menurun, deflasi dan angka pengangguran bertambah jelas merupakan langkah yang keliru. Menaikkan tarif PPN boleh-boleh saja karena akan menaikkan pendapatan negara dan bisa digunakan untuk membangun berbagai fasilitas, namun dengan syarat tingkat korupsi rendah dan kondisi masyarakat serta ekonomi tidak sedang terpuruk.

 

Dampak Menaikkan PPN Saat Ekonomi Tidak Stabil

Dari sisi konsumen (khususnya yang berpenghasilan mengenah-rendah) jelas kenaikan tarif saat kondisi seperti ini akan memukul secara langsung, sedangkan dari sisi pengusaha meskipun memiliki hak klaim kredit pajak, namun tetap akan memberikan dampak juga.

Misalnya bisa saja harga bahan baku dari petani naik karena harga pupuk, harga sparepart traktor dan harga sarung tangan naik. Perusahaan atau pabrik mau tidak mau harus ikut menyesuaikan harga, meskipun bukan langsung dari % kenaikan tarif PPN. Bahkan perusahaan yang bergerak di industri non kebutuhan pokok juga harus memperhitungkan daya beli masyarakat yang turun karena akan berpengaruh pada penjualan.

Pengusaha dan distributor cenderung dilema antara menaikkan harga agar margin keuntungan tetap sama atau tetap mempertahankan harga lama dengan resiko keuntungan menurun dan pembelian berkurang.

Sejarah juga telah mencatat berbagai efek buruk menaikkan tarif PPN atau pajak serupa saat kondisi ekonomi sedang tidak stabil dan cenderung lesu. Berikut ini saya rangkum beberapa contoh kasusnya:

 

Kasus Indonesia:

Pada 2022 tarif PPN di Indonesia naik dari 10% menjadi 11%, menyebabkan berbagai dampak langsung maupun tidak langsung pada perekonomian nasional, di antaranya:

  • Menurunnya penduduk kelas menengah dari 20.68% menjadi 18.83% (Maret 2022 – Maret 2023)
  • Menurunnya daya beli masyarakat khususnya kelas menengah – bawah
  • Melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional dari 5.31% (2022) menjadi 5.05% (2023)
  • Penerimaan PPh atau pajak penghasilan yang menurun

 

Kasus Yunani:

Latar Belakang:
Yunani menghadapi krisis utang yang parah setelah tahun 2008. Sebagai bagian dari paket bantuan dari Uni Eropa dan IMF, Yunani diminta meningkatkan pendapatan negara, termasuk dengan menaikkan PPN.

Kenaikan PPN:
Pemerintah Yunani menaikkan tarif PPN beberapa kali, dari 19% menjadi 23% pada tahun 2010 untuk banyak barang dan jasa, serta memperketat kebijakan fiskal.

Dampak Buruk:

  • Penurunan Daya Beli: Kenaikan PPN membuat harga barang dan jasa melonjak, mengurangi daya beli masyarakat yang sudah terpukul akibat penghematan dan pemotongan gaji.
  • Kontraksi Ekonomi: Konsumsi domestik turun drastis karena masyarakat mengurangi belanja, memperburuk resesi ekonomi.
  • Peningkatan Ekonomi Bayangan: Banyak usaha kecil beralih ke pasar gelap untuk menghindari pembayaran pajak yang tinggi, sehingga justru mengurangi pendapatan pajak negara.
  • Unjuk Rasa: Kebijakan tersebut memicu protes besar-besaran karena dianggap membebani rakyat kecil lebih dari kelompok kaya.

India (2017 – Implementasi GST):

Latar Belakang:
India menggantikan berbagai pajak tidak langsung dengan Goods and Services Tax (GST), yang merupakan sistem mirip PPN. Meskipun bertujuan menyederhanakan sistem pajak, penerapan tarif pajak tinggi pada beberapa kategori produk menyebabkan gejolak.

Dampak Negatif:

  • Penurunan Konsumsi: Beberapa barang kebutuhan dasar dikenakan pajak lebih tinggi dari sebelumnya, menekan daya beli masyarakat.
  • Kerugian UMKM: Banyak usaha kecil kesulitan beradaptasi dengan sistem baru, sehingga banyak yang gulung tikar.
  • Protes Publik: Sistem baru menyebabkan kebingungan luas, terutama di kalangan pengusaha kecil dan menengah.

Malaysia (2015 – GST):

Latar Belakang:
Malaysia memperkenalkan GST (Goods and Services Tax) sebesar 6% untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun, kebijakan ini menuai kritik luas.

Dampak Negatif:

  • Kenaikan Biaya Hidup: Masyarakat merasa terbebani karena harga barang kebutuhan pokok naik, memicu protes besar-besaran.
  • Ketidakpercayaan Publik: Banyak yang menganggap pemerintah menggunakan GST untuk menutupi masalah fiskal yang diakibatkan oleh korupsi.
  • Penghapusan GST: Akibat protes, GST akhirnya dihapus pada 2018 dan digantikan oleh pajak penjualan dan layanan (SST).

Zimbabwe (2000-an):

Latar Belakang:
Di tengah hiperinflasi, Zimbabwe mencoba menaikkan PPN untuk menutupi defisit fiskal.

Dampak Negatif:

  • Harga Barang Melonjak: Dengan inflasi yang sudah tinggi, kenaikan PPN membuat harga barang tak terkendali.
  • Penurunan Kepatuhan Pajak: Banyak bisnis mulai menghindari pajak, sehingga pendapatan negara malah menurun.
  • Krisis Ekonomi Berlanjut: Kebijakan ini memperburuk kondisi ekonomi yang sudah kacau.

Portugal (2010):

Latar Belakang:
Sebagai bagian dari langkah penghematan di tengah krisis ekonomi Eropa, Portugal menaikkan PPN dari 21% menjadi 23%.

Dampak Negatif:

  • Penurunan Konsumsi: Banyak warga membatasi belanja karena harga melonjak.
  • Resesi Lebih Dalam: Kenaikan PPN memperlambat pemulihan ekonomi.
  • Eksodus Bisnis: Beberapa perusahaan kecil tidak mampu bertahan akibat penurunan penjualan.

 

Jadi, berdasarkan kondisi ekonomi saat ini dan dari berbagai catatan sejarah yang sudah pernah terjadi, kita harus menolak kenaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% karena waktunya tidak tepat sehingga beresiko menyebabkan daya beli yang jatuh merosot, lesunya ekonomi nasional dan gulung tikarnya usaha mikro kecil.