Skip to content

Menaikkan Cukai Rokok dan Menerapkan Pajak Karbon Bisa Kurangi Defisit Anggaran

Pada 19 September 2024 lalu, DPR dan menteri keuangan mengesahkan UU APBN 2025. Rancangan APBN ini memperkirakan biaya yang dibutuhkan untuk mendukung jalannya pemerintahan Presiden Prabowo, dimana diperkirakan biaya yang dibutuhkan sebesar +/- 3.621 T dan di sisi lain pendapatan negara diperkirakan sebesar +/- 3.005 T, yang artinya ada defisit sekitar 600 T.

Daripada menambah utang baru ratusan T (lagi), pemerintah sebenarnya bisa menaikkan cukai rokok kembali dan menerapkan aturan pajak karbon untuk mengurangi defisit anggaran.

Hal tersebut juga menjadi semacam “sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui” karena menaikkan cukai rokok dapat mempersulit anak-anak mendapatkan akses rokok, sedangkan menerapkan pajak karbon dapat memaksa pihak industri untuk menemukan cara mengurangi emisi karbon yang pada akhirnya berpengaruh pada kesehatan lingkungan.

Misalnya seperti singapura yang sudah menerapkan aturan pajak karbon pada sekitar 80% emisi karbon yang dihasilkan oleh industri terkait. Tarifnya sebesar S$ 5 per metrik ton, yang membuat pemerintah singapura mendapatkan penghasilan tambahan sebesar US$ 3.4 miliar atau sebesar 52.7 Triliun (kurs 15.500) dari pajak emisi karbon.

Begitu pula dengan menaikkan cukai rokok, yang dapat menambah penghasilan negara, dimana per Juli 2024 saja tercatat pendapatan dari cukai rokok sudah sebesar +/- 111 triliun.

Oleh karena itu, menaikkan cukai rokok dan menerapkan pajak karbon pada emisi karbon yang dihasilkan oleh industri dapat secara mengurangi nilai defisit anggaran yang dialami oleh pemerintah. Meskipun di sisi lain juga harus dibarengi dengan perencanaan yang matang, pengawasan yang ketat, serta komunikasi yang efektif kepada semua pihak yang terkait.