Kalau kita melihat dari negara-negara yang berhasil mengolah masalah sampah plastik dengan baik, seperti negara Jerman, Jepang, Belanda, Swedia, Korea Selatan dan lain-lain, mereka sangat menghindari membuat aturan pelarangan total secara langsung atau mendadak.
Sangat berbanding terbalik dengan cara yang ada pada Surat Edaran (SE) Nomor 2 Tahun 2025 bertanggal 20 Januari 2025 yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Bali, yang melarang secara langsung penjualan semua botol plastik di bawah 1 liter.
Saya telah merangkum bagaimana tahapan, cara dan regulasi yang dilakukan negara-negara tersebut diatas dalam menangani masalah sampah plastik, yaitu sebagai berikut:
Jerman dan Jepang mengambil pendekatan bertahap dengan sistem insentif, edukasi publik, dan infrastruktur daur ulang. Belanda dan Swedia fokus pada ekonomi sirkular dan insinerasi sebagai energi. Korea Selatan menambahkan sistem penalti dan reward. Kesamaan mereka: tidak ada yang menerapkan pelarangan total secara mendadak.
Cara yang telah terbukti berhasil adalah dengan cara bertahap dibarengi dengan pemberian edukasi dan intensif. Pelarangan total dan langsung tanpa bertahap, tanpa dibarengi peningkatan regulasi, fasilitas dan edukasi beresiko mengorbankan industri kecil, mengganggu rantai distribusi ekonomi dan tidak jelasnya tata kelola sampah di masa depan /jangka panjang.
Bukannya menambah kesejahteraan masyarakat dan lingkungan, pelarangan semua produk plastik di bawah 1 liter secara langsung ini berisiko besar menimbulkan masalah baru, khususnya pada masyarakat kecil yang kesulitan mencari alternatif.
Beberapa masalah baru yang mungkin akan muncul:
Dampak Ekonomi pada UMKM dan Ritel Kecil
- Pedagang kecil dan warung tradisional kesulitan mencari alternatif yang murah dan tersedia.
- Biaya kemasan ramah lingkungan lebih mahal dan bisa memicu kenaikan harga barang.
- Distributor dan toko grosir bisa kehilangan omzet karena perubahan sistem mendadak.
Gangguan pada Sistem Distribusi dan Logistik
- Banyak distribusi makanan/minuman masih bergantung pada plastik (botol, sachet, wrap).
- Tidak semua sektor siap mengganti kemasan atau proses pengiriman.
- Risiko pemborosan stok barang lama yang masih memakai plastik.
Efek Negatif terhadap Pengelolaan Sampah Berbasis Ekonomi Sirkular
- Sistem daur ulang yang sudah berjalan bisa terganggu karena bahan bakunya (plastik) dilarang.
- Pelaku usaha daur ulang kehilangan bahan baku dan pendapatan.
- Contoh: daerah seperti Banyumas justru mengolah sampah plastik menjadi sumber pendapatan.
Ketimpangan Sosial dan Ketidakadilan Regulasi
- Masyarakat kelas bawah lebih terdampak karena tidak punya akses ke alternatif.
- Pelaku besar bisa dengan mudah beralih, tapi pelaku kecil tertinggal.
- Muncul kesenjangan implementasi antar wilayah atau sektor.
Risiko Pergeseran Masalah ke Bahan Pengganti
- Alternatif plastik (seperti kertas, bio-plastik) juga punya dampak lingkungan jika tidak dikontrol.
- Konsumsi bahan alami berlebihan bisa menyebabkan deforestasi atau degradasi lahan.
- Kertas atau kain sebagai pengganti bisa butuh lebih banyak energi atau air untuk diproduksi.
Penolakan dan Resistensi Masyarakat
- Kebijakan mendadak tanpa edukasi bisa ditolak atau dilanggar.
- Tanpa partisipasi publik, larangan hanya berlaku di atas kertas.
- Bisa muncul pasar gelap untuk produk plastik.
Saran dari saya untuk Pemerintah Provinsi Bali:
- Terapkan pilot project pelarangan plastik di area pariwisata utama (seperti Ubud atau Nusa Dua)
- Bangun sistem insentif untuk UMKM yang beralih ke kemasan ramah lingkungan
- Kolaborasi dengan industri daur ulang untuk menciptakan ekosistem sirkular
- Libatkan komunitas lokal dan pemuda dalam edukasi dan perubahan perilaku
- Bekerjasama dengan pemerintah pusat untuk membuat regulasi
- Berkomunikasi dengan DPD agar mengajukan saran regulasi khusus di wilayah wisata
Jadi, Surat Edaran (SE) Nomor 2 Tahun 2025 bertanggal 20 Januari 2025 yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Bali adalah niat baik yang tidak terencana dengan baik, mengorbankan industri dan masyarakat kecil serta beresiko menimbulkan masalah baru.
Selain itu, aturan terkait lingkungan dan budaya sering kali disalahgunakan sebagai jalan untuk kepentingan ganda, jangan sampai hal ini terjadi jika tujuannya memang untuk kebaikan lingkungan.
Kalau niatnya adalah untuk melindungi Bali dan lingkungannya, maka jalan menuju kesana harus melibatkan semua pihak. Mulai dari pelaku usaha, komunitas, hingga masyarakat kecil. Jangan biarkan kebijakan yang baik berubah menjadi beban bagi mereka yang paling rentan.