Skip to content

UU Dana Kampanye Cuma Omon-Omon: Perlunya Revisi UU No. 7 Tahun 2017 Untuk Cegah Politik Balas Budi

Jika di Kanada dana kampanye dilaporkan secara real-time dan dapat diakses secara langsung oleh publik, di Indonesia sangat berbeda, dimana laporan terkait dana kampanye sering terlambat, bisa dimanipulasi dan banyak transaksi yang tidak tercatat.

Selain masalah transparansi, aturan terkait batas sumbangan, larangan sumber asing, audit dan pengawasan, serta terkait subsidi publik yang ada pada pasal dana kampanye di UU No. 7 Tahun 2017 , juga memiliki banyak celah dan cenderung hanya bersifat formalitas.

 

Lalu, Menurut laporan Rumah Pemilu, sekitar 92% peserta pilkada dibiayai oleh cukong politik, menunjukkan ketergantungan yang tinggi pada pendanaan dari pihak-pihak berkepentingan.

Menurut studi dari Universitas Medan Area menunjukkan bahwa tingginya biaya politik menghambat sistem meritokrasi dan mendorong praktik politik balas budi, di mana pejabat yang terpilih merasa berhutang budi kepada penyumbang kampanye.

 

Dan laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa seperti pada Pilkada 2020 terdapat indikasi ketidakpatuhan dan ketidakjujuran pasangan calon dalam melaporkan dana kampanye, yang dapat membuka peluang untuk praktik politik balas budi.

Di sisi lain, riset dari Westminster Foundation for Democracy (WFD) mengungkap bahwa calon anggota legislatif (caleg) DPR pada Pemilu 2024 mengeluarkan biaya antara Rp. 200 juta hingga Rp. 5 miliar, dengan beberapa kasus mencapai Rp. 160 miliar.

Ada juga catatan dari pasangan calon presiden dan wakil presiden yang melaporkan pengeluaran dana kampanye mencapai minimal ratusan miliar.

 

Lemah dan tidak mantapnya UU No. 7 Tahun 2017 khususnya pasal terkait dana kampanye tersebut menyebabkan terbentuknya celah budaya politik balas budi, terlebih lagi biaya politik dan biaya kampanye di Indonesia termasuk sangat besar seperti yang terlihat dari hasil riset WFD dan dari catatan laporan dana kampanye calon presiden.

Kemenangan calon pemimpin seakan-akan ditentukan oleh siapa yang memiliki logistik paling banyak dan paling besar, bukan dari bagaimana program serta visi dan misinya. 

Kebutuhan dana yang besar tersebut menyebabkan calon pemimpin dan koalisinya harus melakukan lobi sana sini sehingga mendapat bantuan biaya kampanye. Sering kali lobi-lobi ini berupa janji “mempermudah” pemberi dana dalam berbagai kepentingan atau memberikan jabatan tertentu untuk keuntungan pemberi dana.

 

Maka, untuk mengatasi atau mencegah politik balas budi, UU No. 7 Tahun 2017 khususnya pasal terkait dana kampanye perlu direvisi agar ada pasal yang secara eksplisit dan detail memperkuat dan meningkatkan transparansi pendapatan dan penggunaan dana kampanye pemilu /pilkada. 

Misalnya pelaporan yang real-time, rekening khusus yang bisa diakses publik serta sanksi tegas jika ada pelanggaran terkait dana kampanye. Sehingga calon pemimpin atau wakil rakyat bisa lebih fokus pada kepentingan publik, program serta visi dan misinya.

Jika dana kampanye tak segera diatur dengan transparan dan adil, maka politik kita akan terus dikuasai oleh mereka yang punya modal, bukan mereka yang punya moral. Demokrasi pun hanya akan jadi dagangan lima tahunan.